Pajak haram

April 4, 2010

Memungut pajak
Diterapkannya perpajakan di sekian banyak negara, termasuk pula negeri-negeri kaum muslimin, merupakan bentuk mengambil harta manusia dengan cara yang batil dan zalim. Sebab tidak diperbolehkan mewajibkan sesuatu atas manusia, baik muslim maupun kafir pada harta mereka, kecuali apa yang telah diwajibkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Asy-Syaukani rahimahullahu mengatakan: “Kesimpulannya bahwa hukum asal harta manusia, baik muslim maupun kafir adalah haram (untuk diambil).” –Beliau lalu menyebutkan ayat di atas– kemudian berkata: “Maka harus ada dalil yang menunjukkan dihalalkannya sesuatu yang dituntut tersebut.” (Dinukil oleh Shiddiq Hasan Khan dalam Ar-Raudhah An-Nadiyyah, 1/278-280)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengancam para pemungut pajak dalam beberapa haditsnya. Di antaranya adalah sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
إِنَّ صَاحِبَ الْـمَكْسِ فِي النَّارِ
“Sesungguhnya pemungut pajak dalam neraka.” (HR. Ahmad, 4/109, Ath-Thabarani, 5/29, dari hadits Ruwaifi’ bin Tsabit radhiyallahu ‘anhu. Lihat Ash-Shahihah, Al-Albani, 7/3405)
Dalam riwayat lain dari hadits ‘Uqbah bin Amir radhiyallahu ‘anhu secara marfu’:
لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ صَاحِبُ مَكْسٍ
“Tidak masuk surga pemungut pajak.” (HR. Ibnu Khuzaimah no. 2333, Ad-Darimi no. 1666, dengan sanad hasan lighairihi)
Adapun makna ‘al-maks’, dijelaskan Ibnul Atsir rahimahullahu: “Al-Maks adalah pajak yang diambil oleh pemungutnya dari para pedagang.” (An-Nihayah, 4/349. Lihat pula yang semakna dalam Lisanul ‘Arab, 13/160)
Dalam Al-Qamus disebutkan: “م-ك-س jika dia mengambil harta, dan maks; mengurangi dan menzalimi beberapa dirham yang diambil dari penjual barang di pasar pada masa jahiliah.”
Dalam Al-Mu’jam Al-Wasith: “Al-Maks adalah pajak yang diambil oleh pemungutnya dari para pedagang yang masuk ke dalam negeri.” (semacam pajak impor, red.)
Al-Maks ini juga kadang diistilahkan dengan ‘dharibah’ atau ‘jamrak.’
Di antara yang menunjukkan bahwa perpajakan merupakan dosa yang sangat besar adalah hadits yang diriwayatkan Al-Imam Muslim rahimahullahu dari Buraidah bin Al-Hushaib radhiyallahu ‘anhu, tentang kisah Ma’iz bin Malik Al-Aslami dan kisah wanita Al-Ghamidiyyah yang telah berbuat zina dan bertaubat, lalu datang kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata:
“Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku telah berzina maka sucikanlah aku.” Maka beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menolaknya. Lalu ia datang keesokan harinya dan berkata: “Wahai Rasulullah, mengapa engkau menolakku? Jangan sampai engkau menolakku sebagaimana engkau menolak Ma’iz. Demi Allah, sesungguhnya aku dalam keadaan hamil.” Maka beliau menjawab: “Tidak. Pergilah engkau sampai engkau melahirkan anakmu.” Ketika telah melahirkan, wanita ini pun datang membawa bayinya pada bungkusan kain, lalu berkata: “Ini anaknya. Aku telah melahirkannya.” Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: “Pergilah dan susuilah dia hingga dia disapih.” Tatkala dia telah menyapihnya maka dia pun datang membawa anak tersebut dan di tangannya ada sepotong roti. Lalu berkata: “Ini wahai Nabi Allah, aku telah menyapihnya. Dia telah memakan makanan.” Maka anak tersebut diserahkan kepada seorang lelaki dari kaum muslimin. Lalu beliau memerintahkan (wanita tersebut) untuk ditanam hingga ke dadanya, dan memerintahkan manusia untuk merajamnya. Maka mereka pun merajam wanita tersebut. Datanglah Khalid bin Al-Walid radhiyallahu ‘anhu dengan membawa batu lalu melempar kepalanya hingga darahnya memercik ke wajah Khalid, spontan dia mencacinya. Mendengar cacian tersebut, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bersabda:
“Perlahan wahai Khalid. Demi Allah yang jiwaku berada di tangan-Nya. Sungguh dia telah bertaubat dengan taubat yang kalau sekiranya taubat itu ada pada pemungut pajak, maka dia pasti diampuni.” Lalu beliau memerintahkan untuk menyalatinya dan dikuburkan. (HR. Muslim no. 1695)
An-Nawawi rahimahullahu menerangkan ketika menjelaskan hadits ini: “Hadits ini menunjukkan bahwa memungut pajak merupakan kemaksiatan yang paling jelek dan dosa yang membinasakan. Karena hal tersebut akan menyebabkan banyaknya tuntutan manusia kepada dirinya, perbuatan zalimnya dan berulangnya hal tersebut, merusak kehormatan manusia, serta mengambil harta mereka dengan tanpa hak dan mengarahkannya bukan pada tempatnya.” (Syarah Shahih Muslim, An-Nawawi, 11/203)
Al-Lajnah Ad-Da’imah ditanya tentang hukum perpajakan, maka mereka menjawab:
“Memungut biaya/pajak terhadap barang-barang ekspor maupun impor termasuk mukus, dan mukus adalah haram. Seseorang bekerja (pada instansi yang bertugas demikian) adalah haram, meskipun pajak yang dihimpun nantinya digunakan pemerintah untuk membiayai berbagai proyek, seperti membangun sarana/prasarana negara. Berdasarkan larangan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk memungut pajak dan sikap tegas beliau terhadapnya….”
Lalu mereka menyebutkan kedua hadits di atas dan melanjutkan:
“Adz-Dzahabi rahimahullahu menegaskan dalam kitabnya Al-Kaba’ir: ‘Pemungut pajak termasuk dalam keumuman firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
إِنَّمَا السَّبِيلُ عَلَى الَّذِينَ يَظْلِمُونَ النَّاسَ وَيَبْغُونَ فِي الْأَرْضِ بِغَيْرِ الْحَقِّ أُولَئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
“Sesungguhnya dosa itu atas orang-orang yang berbuat zalim kepada manusia dan melampaui batas di muka bumi tanpa hak. Mereka itu mendapat azab yang pedih.” (Asy-Syura: 42)
Pemungut pajak termasuk pembantu terbesar orang-orang zalim, bahkan mereka sendiri termasuk orang-orang yang zalim. Karena dia mengambil apa yang bukan haknya dan memberi kepada yang bukan haknya. Beliau (Adz-Dzahabi) juga berdalil dengan hadits Buraidah dan hadits ‘Uqbah radhiyallahu ‘anhuma yang telah disebutkan. Beliau lalu berkata: ‘Pemungut pajak menyerupai penyamun jalanan dan termasuk dalam kategori pencurian. Yang mengambil pajak, penulisnya, saksinya, yang mengambilnya dari kalangan staf maupun atasan semuanya ikut serta dalam dosa, memakan harta yang haram.” Selesai ucapan Adz-Dzahabi rahimahullahu.
Hal itu termasuk memakan harta manusia dengan cara yang batil. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَلَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ
“Dan jangan kalian memakan harta di antara kalian dengan cara yang batil.” (Al-Baqarah: 188)
Juga berdasarkan (hadits) yang shahih dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda dalam khutbahnya di Mina pada hari ‘ied pada hajjatul wada’: “Sesungguhnya darah-darah kalian, harta-harta kalian, dan kehormatan kalian adalah haram atas kalian seperti haramnya negeri kalian ini, pada bulan kalian ini.”
Maka seorang muslim hendaklah bertakwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan meninggalkan sumber penghasilan yang haram serta menempuh cara mendapatkan penghasilan yang halal, dan itu banyak, walhamdulillah. Barangsiapa yang merasa cukup, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala akan mencukupinya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَمَنْ يَتَّقِ اللهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا. وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللهِ فَهُوَ حَسْبُهُ
“Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan) nya.” (Ath-Thalaq: 2-3)
Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman:
وَمَنْ يَتَّقِ اللهَ يَجْعَلْ لَهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْرًا
“Dan barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya.” (Ath-Thalaq: 4)
Wabillahit taufiq. Shalawat dan salam Allah Subhanahu wa Ta’ala semoga selalu terlimpah kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan para sahabatnya.
Ketua: Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz
Wakil: Abdurrazzaq Afifi
Anggota: Abdullah bin Ghudayyan
(Fatawa Al-Lajnah, 23/489-492)
Wallahu a’lam.

Sumber: http://www.asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=859

Rakyat bebas pajak

Januari 17, 2010

Sebentar lagi akan sampai pada bulan Maret dimana setiap Wajib pajak Pribadi wajib melaporkan pajaknya. Pemerintah memungut pajak dari rakyat, seperti pajak penghasilan, pajak pertambahan nilai, pajak bumi dan bangunan, serta bea cukai. Pajak ini tentu sangat membebani masyarakat. Bukan saja beban dari uang yang harus dikeluarkan tapi dari kesibukkan proses pelaporan pajak tersebut. Banyak orang Indonesia yang stress karena pajak. Bulan Maret mungkin menjadi bulan yang tidak menyenangkan bagi sebagian besar diantara kita. Kita akan disibukkan dengan pertanyaan bagaimana cara mengisi SPT, berapa setoran pajak, apa itu pph 21, pph 25 dsb yang membuat kesibukan demikian besarnya diantara kita. Tentu saja semua orang pasti setuju mengisi laporan pajak itu rumit dan dan membuat pusing, kalau ada yang tidak setuju bisa jadi dia yang diuntungkan dari adanya kesulitan masyarakat tersebut seperti petugas pajak dan jasa konsultan pajak.

Saat mengalami pemeriksaan pajak, banyak pengusaha kecil yang menjadi stress, karena harus membayar denda yang tinggi karena kesalahannya dalam pelaporan pajaknya. Ada juga yang usahanya sudah bangkrut tapi masih harus disibukkan dengan kewajiban lapor pajaknya. Masyarakat semakin takut untuk berproduksi dengan maksimal atau berkreasi karena takut disibukkan dengan urusan pajak.

Akhir-akhir ini bahkan pemerintah tidak tanggung-tanggung untuk menjadikan para pensiunan sebagai target pajak mereka. Banyak pengusaha yang mulai ditangkap karena dianggap menggelapkan pajak. Bahkan orang-orang kecil pun diancam akan dikenakan sanksi juga jika tidak mau melaporkan pajaknya walau hanya sekedar denda ratusan ribu saja. Di daerah-daerah bahkan sudah banyak terjadi razia pajak. Pemerintah pun sudah mengenakan hukuman kurungan bagi yang tidak mau melaporkan pajaknya secara benar. Ini suatu pemaksaan yang benar-benar tidak dizinkan oleh Islam.

Dalam Islam, pajak yang memaksa sendiri tidak dikenal dan bahkan diharamkan.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
“Sesungguhnya pelaku/pemungut pajak (diadzab) di neraka” [HR Ahmad 4/109, Abu Dawud kitab Al-Imarah : 7]

Pajak di Indonesia bersifat memaksa yaitu jika tidak membayar pajak maka akan dikenai hukuman oleh negara. Pajak yang bersifat memaksa berarti sama saja pemerintah itu merampas/merampok harta rakyat, walaupun oleh pemerintah digunakan untuk kebajikan.

Pajak menurut UU KUP : Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Pajak yang besifat memaksa tentunya bertentangan dengan Islam walau untuk kemakmuran rakyat. Dalam sebuah hadits yang shahih Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
“Tidak halal harta seseorang muslim kecuali dengan kerelaan dari pemiliknya” (Hadits ini shahih, dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih wa Dha’if Jami’ush Shagir 7662, dan dalam Irwa’al Ghalil 1761 dan 1459.)

Firman Allah SWT
Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui. (QS 2:188. )

Pungutan dari rakyat harus bersifat sukarela dan atas dasar keikhlasan. Tidak boleh ada intimidasi/denda/sanksi bagi yang menolak membayar pajak. Pungutan yang bersifat sukarela (tanpa paksaan, tidak ada sanksi bagi yg tidak mau membayar) maka jelas diperbolehkan karena termasuk kategori infaq/hadiah/hibah kepada pemerintah.

Pajak diharamkan, karena di dalam Islam kita dilarang untuk memakan harta orang lain dengan paksaan. Pajak adalah hasil dari harta orang lain yang dipungut secara memaksa bukan sukarela.

Pajak dalam masyarakat arab sempat terjadi pada zaman jahiliyah yaitu pajak yang biasa dipungut oleh para raja Arab atau non Arab, dan diantara kebiasaan mereka ialah menarik pajak sepersepuluh dari barang dagangan manusia yang melalui/melewati daerah kekuasannya. Sedangkan dalam Islam pajak wajib dihapuskan. Sistem pajak diganti dengan zakat yang benar-benar terbukti memajukan negara. Islam sempat jaya dan makmur pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz rahimahullah padahal ia tidak mengenakan pajak dari rakyatnya.

Umar bin Abdul Aziz rahimahullah pernah menulis sepucuk surat kepada Adi bin Arthah, di dalamnya ia berkata : “Hapuskan dari manusia Al-Fidyah, Al-Maidah, dan Pajak. Dan (pajak) itu bukan sekedar pajak saja, melainkan termasuk dalam kata Al-Bukhs yang telah difirmankan oleh Allah.

“…Dan janganlah kamu merugikan/mengurangi manusia terhadap hak-hak mereka, dan janganlah kamu berbuat kejahatan di muka bumi dengan membuat kerusakan” [Hud : 85]

Kemudian beliau melanjutkan : “Maka barangsiapa yang menyerahkan zakatnya (kepada kita), terimalah ia, dan barangsiapa yang tidak menunaikannya, maka cukuplah Allah yang akan membuat perhitungan dengannya” [Ahkam Ahli Dzimmah 1/331]

Dalam Islam dikenal pungutan yang disebut zakat. Tapi zakat tidaklah memberatkan seperti halnya pajak. Rakyat cukup membayar dengan sukarela zakat sesuai dengan ketentuan dan didasari dengan iman. Dan zakat juga hanya diperuntukkan hanya untuk yang berhak saja sehingga zakat akan benar-benar diperguanakan untuk mensejahterakan rakyat.

Masyarakat yang dibebaskan dari pajak dengan sendirinya akan lebih nyaman. Tidak akan ada lagi stress dalam urusan laporan pajak. Semua hidup menjadi mudah. Sementara para pelaku usaha akan lebih mudah mengurus usahanya. Sudah tidak aneh lagi jika pajak merupakan salah satu faktor yang menghambat perkembangan perusahaan.

Menurut John Stuart Mill perekonomian masyarakat terutama meningkat ketika orang-orang menabung, menanam modal, dan bekerja. Pajak yang tinggi terhadap pekerjaan, tabungan, dan modal akan menghukum “orang-orang yang bekerja lebih keras dan menabung lebih banyak dari tetangganya” (John Stuart Mill dalam Principles of Political Economy).

Negara yang bebas dari segala jenis pajak tentu akan membuat masyarakatnya lebih makmur karena mudah dalam berusaha. Warga tetap punya uang yang dapat ditabung atau diinvestasikan di bidang usaha lain, atau paling tidak dibelanjakan, yang berarti pula mendorong tingkat konsumsi. Perusahaan-perusahaan baru akan tumbuh, barang-barang akan menjadi lebih murah. Pelaku usaha akan fokus dalam usahanya dan tidak perlu memikirkan pajak lagi.

Sebagai pengganti pajak, pemerintah bisa memperoleh pendapatan dari zakat. Disamping itu pemerintah juga harus kreatif mendapatkan pendapatan dengan mengelola perusahaan-perusahan milik negara yang keuntungannya bisa dipakai untuk kebutuhan rakyat. Kekayaan alam di Indonesia yang besar akan sangat bermanfaat jika benar-benar dikelola dengan baik. Sudah saatnya pemerintah Indonesia tidak tergantung pada pajak dan mulai membebaskan masyarakat dari beban pajak. Masyarakat Indonesia akan lebih bersimpati pada pemerintah dan akan sangat nyaman tinggal di negeri tercinta ini. Sementara itu para investor asing akan berbondong-bondong datang ke Indonesia karena adanya kebebasan pajak bagi mereka.

Hello world!

Januari 17, 2010

Welcome to WordPress.com. This is your first post. Edit or delete it and start blogging!