Memungut pajak
Diterapkannya perpajakan di sekian banyak negara, termasuk pula negeri-negeri kaum muslimin, merupakan bentuk mengambil harta manusia dengan cara yang batil dan zalim. Sebab tidak diperbolehkan mewajibkan sesuatu atas manusia, baik muslim maupun kafir pada harta mereka, kecuali apa yang telah diwajibkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Asy-Syaukani rahimahullahu mengatakan: “Kesimpulannya bahwa hukum asal harta manusia, baik muslim maupun kafir adalah haram (untuk diambil).” –Beliau lalu menyebutkan ayat di atas– kemudian berkata: “Maka harus ada dalil yang menunjukkan dihalalkannya sesuatu yang dituntut tersebut.” (Dinukil oleh Shiddiq Hasan Khan dalam Ar-Raudhah An-Nadiyyah, 1/278-280)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengancam para pemungut pajak dalam beberapa haditsnya. Di antaranya adalah sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
إِنَّ صَاحِبَ الْـمَكْسِ فِي النَّارِ
“Sesungguhnya pemungut pajak dalam neraka.” (HR. Ahmad, 4/109, Ath-Thabarani, 5/29, dari hadits Ruwaifi’ bin Tsabit radhiyallahu ‘anhu. Lihat Ash-Shahihah, Al-Albani, 7/3405)
Dalam riwayat lain dari hadits ‘Uqbah bin Amir radhiyallahu ‘anhu secara marfu’:
لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ صَاحِبُ مَكْسٍ
“Tidak masuk surga pemungut pajak.” (HR. Ibnu Khuzaimah no. 2333, Ad-Darimi no. 1666, dengan sanad hasan lighairihi)
Adapun makna ‘al-maks’, dijelaskan Ibnul Atsir rahimahullahu: “Al-Maks adalah pajak yang diambil oleh pemungutnya dari para pedagang.” (An-Nihayah, 4/349. Lihat pula yang semakna dalam Lisanul ‘Arab, 13/160)
Dalam Al-Qamus disebutkan: “م-ك-س jika dia mengambil harta, dan maks; mengurangi dan menzalimi beberapa dirham yang diambil dari penjual barang di pasar pada masa jahiliah.”
Dalam Al-Mu’jam Al-Wasith: “Al-Maks adalah pajak yang diambil oleh pemungutnya dari para pedagang yang masuk ke dalam negeri.” (semacam pajak impor, red.)
Al-Maks ini juga kadang diistilahkan dengan ‘dharibah’ atau ‘jamrak.’
Di antara yang menunjukkan bahwa perpajakan merupakan dosa yang sangat besar adalah hadits yang diriwayatkan Al-Imam Muslim rahimahullahu dari Buraidah bin Al-Hushaib radhiyallahu ‘anhu, tentang kisah Ma’iz bin Malik Al-Aslami dan kisah wanita Al-Ghamidiyyah yang telah berbuat zina dan bertaubat, lalu datang kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata:
“Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku telah berzina maka sucikanlah aku.” Maka beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menolaknya. Lalu ia datang keesokan harinya dan berkata: “Wahai Rasulullah, mengapa engkau menolakku? Jangan sampai engkau menolakku sebagaimana engkau menolak Ma’iz. Demi Allah, sesungguhnya aku dalam keadaan hamil.” Maka beliau menjawab: “Tidak. Pergilah engkau sampai engkau melahirkan anakmu.” Ketika telah melahirkan, wanita ini pun datang membawa bayinya pada bungkusan kain, lalu berkata: “Ini anaknya. Aku telah melahirkannya.” Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: “Pergilah dan susuilah dia hingga dia disapih.” Tatkala dia telah menyapihnya maka dia pun datang membawa anak tersebut dan di tangannya ada sepotong roti. Lalu berkata: “Ini wahai Nabi Allah, aku telah menyapihnya. Dia telah memakan makanan.” Maka anak tersebut diserahkan kepada seorang lelaki dari kaum muslimin. Lalu beliau memerintahkan (wanita tersebut) untuk ditanam hingga ke dadanya, dan memerintahkan manusia untuk merajamnya. Maka mereka pun merajam wanita tersebut. Datanglah Khalid bin Al-Walid radhiyallahu ‘anhu dengan membawa batu lalu melempar kepalanya hingga darahnya memercik ke wajah Khalid, spontan dia mencacinya. Mendengar cacian tersebut, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bersabda:
“Perlahan wahai Khalid. Demi Allah yang jiwaku berada di tangan-Nya. Sungguh dia telah bertaubat dengan taubat yang kalau sekiranya taubat itu ada pada pemungut pajak, maka dia pasti diampuni.” Lalu beliau memerintahkan untuk menyalatinya dan dikuburkan. (HR. Muslim no. 1695)
An-Nawawi rahimahullahu menerangkan ketika menjelaskan hadits ini: “Hadits ini menunjukkan bahwa memungut pajak merupakan kemaksiatan yang paling jelek dan dosa yang membinasakan. Karena hal tersebut akan menyebabkan banyaknya tuntutan manusia kepada dirinya, perbuatan zalimnya dan berulangnya hal tersebut, merusak kehormatan manusia, serta mengambil harta mereka dengan tanpa hak dan mengarahkannya bukan pada tempatnya.” (Syarah Shahih Muslim, An-Nawawi, 11/203)
Al-Lajnah Ad-Da’imah ditanya tentang hukum perpajakan, maka mereka menjawab:
“Memungut biaya/pajak terhadap barang-barang ekspor maupun impor termasuk mukus, dan mukus adalah haram. Seseorang bekerja (pada instansi yang bertugas demikian) adalah haram, meskipun pajak yang dihimpun nantinya digunakan pemerintah untuk membiayai berbagai proyek, seperti membangun sarana/prasarana negara. Berdasarkan larangan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk memungut pajak dan sikap tegas beliau terhadapnya….”
Lalu mereka menyebutkan kedua hadits di atas dan melanjutkan:
“Adz-Dzahabi rahimahullahu menegaskan dalam kitabnya Al-Kaba’ir: ‘Pemungut pajak termasuk dalam keumuman firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
إِنَّمَا السَّبِيلُ عَلَى الَّذِينَ يَظْلِمُونَ النَّاسَ وَيَبْغُونَ فِي الْأَرْضِ بِغَيْرِ الْحَقِّ أُولَئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
“Sesungguhnya dosa itu atas orang-orang yang berbuat zalim kepada manusia dan melampaui batas di muka bumi tanpa hak. Mereka itu mendapat azab yang pedih.” (Asy-Syura: 42)
Pemungut pajak termasuk pembantu terbesar orang-orang zalim, bahkan mereka sendiri termasuk orang-orang yang zalim. Karena dia mengambil apa yang bukan haknya dan memberi kepada yang bukan haknya. Beliau (Adz-Dzahabi) juga berdalil dengan hadits Buraidah dan hadits ‘Uqbah radhiyallahu ‘anhuma yang telah disebutkan. Beliau lalu berkata: ‘Pemungut pajak menyerupai penyamun jalanan dan termasuk dalam kategori pencurian. Yang mengambil pajak, penulisnya, saksinya, yang mengambilnya dari kalangan staf maupun atasan semuanya ikut serta dalam dosa, memakan harta yang haram.” Selesai ucapan Adz-Dzahabi rahimahullahu.
Hal itu termasuk memakan harta manusia dengan cara yang batil. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَلَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ
“Dan jangan kalian memakan harta di antara kalian dengan cara yang batil.” (Al-Baqarah: 188)
Juga berdasarkan (hadits) yang shahih dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda dalam khutbahnya di Mina pada hari ‘ied pada hajjatul wada’: “Sesungguhnya darah-darah kalian, harta-harta kalian, dan kehormatan kalian adalah haram atas kalian seperti haramnya negeri kalian ini, pada bulan kalian ini.”
Maka seorang muslim hendaklah bertakwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan meninggalkan sumber penghasilan yang haram serta menempuh cara mendapatkan penghasilan yang halal, dan itu banyak, walhamdulillah. Barangsiapa yang merasa cukup, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala akan mencukupinya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَمَنْ يَتَّقِ اللهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا. وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللهِ فَهُوَ حَسْبُهُ
“Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan) nya.” (Ath-Thalaq: 2-3)
Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman:
وَمَنْ يَتَّقِ اللهَ يَجْعَلْ لَهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْرًا
“Dan barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya.” (Ath-Thalaq: 4)
Wabillahit taufiq. Shalawat dan salam Allah Subhanahu wa Ta’ala semoga selalu terlimpah kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan para sahabatnya.
Ketua: Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz
Wakil: Abdurrazzaq Afifi
Anggota: Abdullah bin Ghudayyan
(Fatawa Al-Lajnah, 23/489-492)
Wallahu a’lam.
Sumber: http://www.asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=859